Selasa, 21 Desember 2010

Per Menit, 5 Anak Indonesia Putus Sekolah


Cantik, hangat dan penuh semangat itu kesan pertama saat bertemu dengan Veronica Colondam. Pendiri Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB) ini sudah sejak 1999 bekerja aktif melakukan pencegahan penggunaan narkoba pada anak-anak dan remaja.
Yayasan ini pun berkembang setiap tahunnya dan memiliki kini memiliki tiga program utama yang bukan sekadar pencegahan narkoba. Yaitu, Healthy Lifestyle Promotion for in-school youth (HELP), House of Learning and Development (HOLD) serta Hands-on Operation for Entrepreneurship (HOPE).

Dengan sekian banyak program, penyuka makanan Jepang ini, masih merasa kalau kerja kerasnya dan tim dari YCAB masih kalah cepat dengan fakta di lapangan. Data dari Kementrian Pendidikan Nasional pada 2007 ada lebih dari 1,1 juta anak Indonesia putus sekolah. Ini menunjukkan makin banyak anak-anak putus sekolah, maka makin banyak yang akan berada di jalanan serta berisiko tinggi menjadi pengguna narkoba.

Ibu tiga anak ini pun menceritakan ide dan rencana-rencanannya bersama YCAB kepada VIVAnews. Rencana yang menurutnya masih berupa 'remahan' untuk terus disempurnakan, demi menjaga anak bangsa.

- Apa yang mendasari berdirinya YCAB?
Kalau kita bicara soal anti-narkoba, secara historis YCAB berdiri karena kita mau mencegah anak bangsa menggunakan narkoba. Selama ini perlu dicatat kita tidak berhadapan dengan pecandu atau mengurusi yang sudah kena, jadi kita menjaga yang belum kena.

- Kesulitan yang dialami dalam menjalankan program YCAB?
Sejak dulu hingga sekarang, konsep pencegahan itu masih susah masuk ke benak orang. Orang Indonesia biasanya lebih suka reaktif dibanding proaktif. Banyak orang yang merasa pencegahan itu nggak penting-penting amat. Nah, itu mengubah hal itu sampai sekarang masih sulit, jadi kita harus mengubah paradigma orang tentang pentingnya pencegahan narkoba.
Kita bukan panti rehabilitasi, tetapi melakukan kampanye pencegahan. Sebab, sampai hari ini cuma kita satu-satunya yang melakukan kerjaan seperti ini. Memang dengan berjalannya waktu, kita melihat masalah di atas permukaan yang sebenarnya bagian dari masalah struktural.

- Anda memiliki prinsip untuk menyelamatkan anak-anak masih bersih dari narkoba, bagaimana program pencegahan yang dilakukan ?
YCAB pada 2007-2008 sudah memposisikan bukan hanya pencegahan narkoba. Kita juga memposisikan diri di bidang Youth Development. Karena Youth Development ini menjawab pertanyaan mulai dari perilaku berisiko, anak-anak yang kurang pendidikan, putus sekolah, sampai anak-anak yang sekolah tapi nggak bisa kerja. Semua ini membuat 'siklus setan', di mana salah satunya menyebabkan masalah lain. Kalau kita tidak menghadapinya secara struktural itu akhirnya cuma seperti tidak mengerti masalah.

- Jadi, program pencegahan makin berkembang bukan hanya kampanye?
Pencegahan narkoba betul, kampanye betul, tapi itu untuk anak-anak yang masih di sekolah. Sebanyak 1,3 juta anak usia SMP sampai SMA putus sekolah, artinya hampir 5 anak per menit putus sekolah. Kalau setiap menit, ada lima anak putus sekolah, artinya dia bisa kerja di jalanan dan mereka berisiko bukan hanya kecanduan narkoba tetapi juga banyak urusan kriminal lain. Kalau mereka tidak dikembalikan ke sekolah dan dibuat bekerja di sektor ekonomi yang resmi, ini akan jadi masalah besar.

- Lalu bagaimana pengembangan program YCAB yang telah berdiri selama 11 tahun ?
Yang kita lakukan adalah Youth Development secara holistik. Mulai dari Rumah Belajar sampai Economic Assistant dalam bentuk micro loans (pinjaman lunak). Sebab, umumnya anak-anak ini putus sekolah karena miskin. Orangtua pun lebih memilih anaknya bekerja daripada sekolah. Akhirnya, orangtua yang punya dagangan kita beri pinjaman lunak supaya mereka bisa terus menyekolahkan anak mereka.

Kita juga memiliki program employment placement. Paket B dan C, SMP, SMA. Lalu, di tahun terakhir mereka harus ambil pilihan skill tetapi yang penjurusannya untuk langsung bekerja, seperti penataan rambut yang tim pengajarnya dari Rudy Hadisuwarno dan untuk hospitality dari Binus (Bina Nusantara), jadi kualitas pendidikannya terjaga. Dari sejak sekolah di YCAB anak-anak juga harus ambil pendidikan bahasa inggris dan komputer, keduanya disertifikasi oleh Binus.

- Setelah lulus mereka bisa langsung bekerja?
Delapan puluh persen lulusan dapat pekerjaan bagus. Ada yang mencari-cari sendiri dan ada juga yang masuk dalam sistem kita. Sebenarnya target utamanya anak usia 12-18 tapi ada fleksibilitas karena kita bicara anak putus sekolah. Rumah Belajar berdiri sejak 2003, sampai saat ini yang masih sekolah 2000 anak, total yang sudah lulus sejak 2003 ada 6000.

- Bagaimana awal dibuatnya program tersebut?
Pada 2003 kita mulai melihat celah kalau anak-anak jalanan yang putus sekolah berisiko lebih besar, karena mereka berada di jalanan. Peredaran narkoba di district level itu luar biasa. Akhirnya, kita bikin Rumah Belajar, untuk ide itu lebih mudah dicerna banyak orang. Sekolah gratis dan untuk anak putus sekolah, dipersiapkan untuk mendapat kerja.

Rumah Belajar sekarang ada di empat tempat, Duri Kepa, Plumpang, Cikarang, kampung Baru-Cengkareng. Ini empat yang sudah jalan dan 3 lagi kita akan buka di Padang karena ada mitra, di Latumenten, dan yang ketiga kita bikin kelas yang lebih mobile. Itu inisiatif terbaru dari kita. Bentuknya bus yang dijadikan kelas. Kan banyak daerah miskin seputar Jakarta, boro-boro cari tempat karena padat, jadi kita mesti bawa fasilitasnya ke situ.

- Lalu darimana dana untuk membiayai program?
Sebagai NGO, kita punya kebebasan sendiri untuk mencari dana sendiri. Kalau negara dan PBB kan punya aturan yang ketat dan memang itu pola mereka. But I like working with them, karena bisa belajar profesionalisme dan banyak hal. Kita berusaha semaksimal mungkin. Seperti waktu membuat Rumah Belajar di Aceh, saya mencari dana sendiri, dapat investor dari Amerika. Akhirnya dengan keterbatasan kita, program bisa bertahan selam 4 tahun yang sebelumnya dua tahun.

Sama seperti cita-cita lembaga PBB, kita juga ingin memberdayakan komunitas lokal. Tapi, masalahnya untuk melakukan program membutuhkan dana. Bicara soal bottom line is always cost, jangan naif. Jawabannya adalah kita bisa memandirikan sebuah komunitas. Kita menggabungkan sebuah inovasi yang lebih aktif dan kreatif.

Tapi tetap saja, 'money makes money'. Harus ada uang yang berputar. Dalam satu tahun ini kita lagi menguji coba satu service model di Jakarta Barat yang membiayai Rumah Belajar. Kita menjalankan micro loans, uang yang berputar akan menghasilkan uang yang kita reinvestasi untuk mendukung Rumah Belajar. Bisnisnya apa saja, untuk yang meminjam harus punya track record dagang.

Kita sedang buka terus dan untuk memantaunya kita punya tim khusus yang datang ke lapangan tiap minggu. Sumber dana awal, kita punya 3 unit bisnis yang profitnya dimasukkan ke yayasan. Ada juga bantuan dari pemerintah dan perusahaan multinasional. Untuk perusahaan biasanya melalui sponshorship atau high profile event.

- Lalu bagaimana dengan program pencegahan narkoba di sekolah yang sangat identik dengan YCAB?
Untuk program Ripple, yaitu anti-narkoba di sekolah, kita sekarang menyebutnya gerakan bebas narkoba dan HIV/AIDS. Setiap tahun kita melatih 400.000 ribu anak. Kampanye ini juga melatih anak-anak supaya mereka bisa juga mengajarkan teman-temannya. Kebanyakan program kampanye pencegahan kita menyasar SMP dan SMA kelas 1.

- Dalam program Ripple apa yang diajarkan?
Life skill dan public speaking karena intinya kita ingin menjadikan mereka agen perubahan, Angel of Change. Jadi mereka bisa menyebar kemana saja, bukan hanya di sekolah. Nanti mereka buat laporan, kita cek secara random. Di tahun awal sekolah, kita latih anak-anak selama 3-6 bulan. Kita kasih tugas untuk 'ceramah' ke teman-temannya, lalu menyetorkan data serta laporan.
Bagi anak yang memberikan data paling banyak akan jadi pemenang, dan mendapat hadiah dari sponsor. Mereka membawa nama sekolah, jadi lebih semangat. Program ini bernama Ripple karena menciptakan mereka menjadi riak-riak. Itu seru banget. Kita sudah replikasi di 23 kota dan sekarang malah sudah nasional di 33 provinsi.

- Adakah program pencegahan yang ditujukan untuk orangtua murid?
Biasanya di awal tahun dan juga sekolah yang meminta. Orangtua sebenarnya paling susah dikumpulkan. Ada beberapa sekolah yang 'menyandera' rapot anak agar orangtua duduk dan mendengarkan. Tapi, tidak terlalu banyak, tiap tahun sekitar lima sekolah.

- Rencana Anda 5-10 tahun ke depan?
Kita sudah memposisikan diri sebagai non profit global. Tahun ini kita membuka kantor di New York, tepatnya di Union Square. I believe that the program we have here is a solid program. Target saya bukan saja Indonesia tapi kita akan masuk ke regional Asia Tenggara, karena masih banyak negara yang lebih susah dari kita.

Sepuluh tahun ke depan YCAB diharapkan tumbuh bukan hanya global tapi juga sebagai social enterprise. Karena apapun bisnis unit yang ada di bawah YCAB itu kepentingannya untuk sosial dan anak. Jadi ini merupakan bisnis dengan misi sosial.

- Bagaimana pengalaman menjadi wanita termuda yang menerima Penghargaan Vienna Civil Society Award dari PBB pada 2001?
Waktu itu merupakan tahun yang justru sangat sulit bagi saya. Tahun itu mama saya divonis kena penyakit kanker di bagian usus, dan pada Juni pada tahun sama, setelah melahirkan anak ketiga, saya terkena sakit kuning.

Lalu saya pikir mendapat penganugerahan dari PBB merupakan mukjizat. I have to say someone, had faith in me, someone believe in me, yang menominasikan saya ke PBB. Dia juga orang PBB dari regional Bangkok, namanya Sandro Galvani, orang Italia.

Di level kerjaan saya yang saat itu baru dua tahun tapi banyak orang percaya. But award it's not end of the line not a goal. Tapi, itu bisa mempercepat kredibilitas kita dan orang lebih percaya pada kita.

- Bagaimana dukungan keluarga ?
Evolusi YCAB sangat progresif dari NGO menjadi social enterprise. Anak-anak saya menikmati itu dan suami saya luar biasa. Dia seperti guru.

- Anak-anak sering terlibat atau membantu pekerjaan Anda?
Mereka sering ikut bantu. Karena mereka sudah SMA dan SMP, jadi bikin project site, datang ke lapangan, bikin report. Mereka belajar langsung dan merasakan. I think it means a lot to kid, experiential learning. Terkadang kalau kita bikin semacam baksos (bakti sosial), saya suruh anak-anak mengorganisir relawan dari teman-temannya dan mereka happy.

- Bagaimana cara membagi waktu?
It's a juggle. Tapi, mungkin cuma dibutuhkan sebuah kedisiplinan. Maksud saya disiplin terhadap prioritas dan manajemen waktu, dua hal itu penting banget.

- Bagaimana dengan 'me time'?
'Me time' hampir nggak ada. Meskipun ada, I feel guilty. I know it's not healthy, I should have "me time". But, at this moment, my "me time" is with kids.

Sumber: http://surabayacybercity.blogspot.com/2010/11/per-menit-5-anak-indonesia-putus.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CREATIVE BY JACKFROST HIDEOUT | MASIH PEMULA | MOHON KRITIK DAN SARAN